KODIFIKASI TEKS MASA USMAN BIN AFFAN DAN STANDARISASI TEKS (RASM USMANI)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kitab suci
al-Qur’an merupakan firman Allah SWT diwahyukan kepada Nabi Muhammad kurang
lebih selama 23 tahun. Al-qur’an merupakan mu’jizat Nabi Muhammad Saw yang
tertulis dalam mushaf- mushaf dengan cara mutawattir dan membacanya merupakan
ibadah.
Penyampaian
ayat ayat Al-Qur’an dari Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat sangat
sistematis karena,selain menganjurkan untuk dihafal Rasulullah juga mengangkat
para sahabatnya sebagai penulis wahyu,kemudian Alqur’an ditulis diberbbagai media
pada zaman itu.
Setelah
Nabi wafat ,Abu bakar Assiddiq didaulat sebagai khalifah (632-634 M). setelah
wafatnya rasulullah banyak umat muslim yang murtad sehingga menyebabkan
terjadinya peperangan .pada perang Yamamah banyak para penghafal Alqur’an yang
gugur dimedan perang sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi umar bi khattab.
Umar bin khattab mengusulkan pembukuan mushaf Al-qur’an agar tidak musnah. Hal
inilah yang kemudian melatar belakangi peradaban terbentuknya mushaf al-qur’an
serta terbentuknya sejarah rasm utsmani.
Sedangkan, pengumpulan resmi dilaksanakan pada masa
utsman bin affan yang merupakan dasar awal dalam standardisasi teks
Alqur’an.standardisasi ini sendiri merupakan penyeragaman teks al qur’an karena
perbedaan teks alqur’an dan perbedaan bacaan yang mengarah kepada perpecahan
umat islam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah teks masa Rasm Utsmani?
2.
Bagaimana
Standarisasi mushaf Al-Qur’an?
3.
Bagaimana
Hukum Pendapat Ulama’ pada Rasm Utsmani?
4.
Bagaimana
Kaidah-Kaidah Rasm Utsmani?
5.
Bagaimana
Faedah Penulisan Al-Qur’an
dengan Rasm Utsmani?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk
mengetahui bagaimana sejarah teks pada masa Rasm Utsmani.
2.
Untuk
mengetahui Standarisasi mushaf Al-Qur’an.
3.
Untuk
mengetahui Hukum Pendapat Ulama’ pada Rasm Utsmani.
4.
Untuk
mengetahui Kaidah-Kaidah Rasm Utsman.
5. Untuk mengetahui Penulisan Al-Qur’an dengan Rasm Utsmani.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Teks Masa Rasm
Utsmani
Alqur’an merupakan kitab suci yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat,Alqur’an memilki tata cara dalam membaca dan penulisan
lafadz-lafadznya. Ilmu membaca Alqur’an dsebut juga ilmu qira’at . menurut
Az-Zarkasyi qira’at merupakan perbedaan lafadz lafadz Alqur’an baik mencakup
huruf hurufnya maupun cara pengucapan huruf .perbedaan cara membaca alqur’an
ini yang melatar belakangi lahirnya mushaf utsmani. Perbedaan ini juga terjadi
diberbagai wilayah .salah satunya terjadi perbedaan didaerah Syam dan Irak.
Bahkan, di kota Madinah perbedaan membaca Alqur’an mengakibatkan perselisihan
satu sama lain,mereka menganggap bacaan mereka paling benar dan saling menyalahkan
satu sama lain. Hal ini dikarena memang Nabi Muhammad Saw telah memerintahkan bahwa boleh
membaca Al-Quran dengan dialek mereka
masing-masing.
Karena
peristiwa tersebut ,pada masa khalifah utsman bin affan melakukan penyeragaman
bahasa agar tidak terjadi perselisihan diantara umat islam dengan membuat kebijakan bahwa mushaf Alqur’an
dibaca menggunakan
satu dialek bahasa.
Adapun
kebijakan Khalifah Utsman dimulai dari Khalifah Utsmani meminta beberapa
sahabat untuk mengumpulkan mushaf-mushaf Al-Qur’an dan menyatukan dengan susunan
berdasarkan kesepakatan yang disepakati bersama. Khalifah usman memerintahkan
untuk mengunakan standarisasi penulisan dalam mushaf utsmani[1].
Sebelumnya utsman bin affan menginstruksikan
bahwa pertama ,adalah jika
kamu berbeda pendapat tentang Al-Qur’an,maka kembalikan kepada bahasa Quraisy, karena
dengan Bahasa Quraisy Al-Qur’an diturunkan”. Kedua, Mushaf yang dijadikan dasar adalah mushaf yang sudah
dikumpulkan pada masa Abu Bakar yang kemudian naskahnya tetap dijaga dan
dipelihara pada masa Umar. setelah mereka wafat naskah ini disimpan
oleh Hafsah. Utsman menginstruksikan untuk menjadikan naskah yang disimpan pada
Hafsah dijadikan sebagai standar
penulisan. meskipun mereka sendiri adalah para penghafal AlQur’an dengan alasan agar penulisan-penulisan mushaf
harus merujuk kepada apa yang dilakukan oleh
Abu Bakar dan juga telah dilakukan Umar Bin Khathab. Abu Bakar sendiri merujuk pada
apa yang ditulis para sahabat atas petunjuk Nabi Muhammad Saw. Hal ini
dilakukan untuk menjaga naskah alqur’an. Setelah panitia penulisan mushaf Al-Qur-An
ini terbentuk kemudian mereka mulai melaksanakan tugas dibawah pengawasan langsung oleh Khalifah Utsmani Bin
Affan, setalah selesai dalam pengerjaan. Lalu Kahlifah Utsman melakukan
beberapa langkah yang dinilai amat penting sebelum mushaf-mushaf yang di buat
itu disebar luaskan ke beberapa wilayah Islam. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan oleh Kahlifah Utsman Bin Afan sebagaiberikut:
1.
Naskah
terakhir dibaca di depan para sahabat
Naskah penentuan ini di baca dengan maksud untuk verifikasi
dan dicek dengan suhuf dari Hafsah. Dengan selesainya pembacaan itu, dia
mengirimkan duplikat naskah mushaf untuk disebarluaskan ke seluruh wilyah
Negara Islam.
2.
Khalifah
utsman membakar manuskrip yang lain
Dengan selesainya tugas ini maka
dirasa sudah tidak diperlukan lagi adanya fragmentasi tulisan Al-Qur’an
. Oleh karena itu, semua pecahan tulisan(fragmentasi) Al-Qur’an telah dibakar. [2]Mus’ab
bin sa’d menyatakan bahwa masyarakat dapat menerima keputusan Utsman. Riwayat
lain mengukuhkan kesepakatan ini, termasuk Ali Bin Abi Tahlib berkata: ”Demi
Allah dia tidak melakukan apa-apa dengan pecahan-pecahan (mushaf) kecuali
dengan persetujuan kami semua (tidak ada seorang pun, diantara kami yang
membantah)” dan Khalifah Utsmani mengirim pembaca Al-Qur’an dilengkapi
dengan mushaf Tidak ada naskah yang
dikirim tanpa seorang qari’ (pembaca), adapun para qari’ ersebut adalah Aid Bin
Thabit ke Madinah, Abdullah Bin As-Sa’ib keMakkah, Al-Mughirah Bin Shihab ke
Suriah, Amir Bin Abd Qais ke Basra Dan Abu Abdur-Rahman As-Sulaimi ke Kuffah.
Semua hal itu dilakukan Utsman setelah mendapatkan masukan dan saran dari para
sahabat. Sebagaimana diriwayatkan
al-Khatib dalam kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, Ali radhiyallâhu 'anhu
mengatakan, "Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan
pada mushaf-mushaf Al-Qur'an, selain harus meminta pendapat kami semuanya
(sahabat--Red)." Utsman mengatakan, "Aku 'berpendapat, sebaiknya kita
mengumpulkan manusia hanya pada satu mushaf sehingga tidak terjadi perpecahan
dan perbedaan" Pendapat ini kemudian disepakati demi kemaslahatan umat
Islam .[3]
Artinya semua kebijakan yang dilakukan oleh Kahlifah
Utsman bin Affan merupakan kesepakatan bersama bukan kemauan Khalifah Utsman
semata. Dengan kesepakat mereka bersama sehingga semua berjalan sesuai yang
diharapkan.
B.
Standarisasi Mushaf Al-qur’an
Mushaf
itu terbentuk dari kata “Shahifah” yang
bermakna kulit berwarna keputihan atau sebuah lempengan/ lembaran tipis yang
ditulis dengan tulisan. Sedangkan secara bahasa, Mushaf itu berasal dari kata “ma ushhifah” yang memiliki arti lembaran yang berisi
tulisan yang telah diapit dengan dua sampul. Dengan adanya kemunculan mushaf
ini membuat sebuah ketakutan serta kekhawatiran para sahabat setelah wafatnya
Nabi Muhammad SAW apalagi telah terjadinya banyak korban dari peperangan
Yamamah yang telah memakan korban para hafidz.
Pada saat kekhalifahan Abu Bakar ash Shidiq telah
mengundang Zaid bin Tsabit untuk memimpin sebuah rangka pengumpulan lembaran
ayat-ayat al-Qur’an untuk menjadi satu. Akan
tetapi Zaid bin Tsabit telah menolak perintah itu dikarenakan Nabi Muhammad
tidak pernah mengajarkannya seperti itu, sehingga itu membuat Abu Bakar memberi
pemahaman dan meyakinkan Zaid bin Tsabit dan pada akhirnya menerima perintah
itu, namun hal itu bukanlah suatu yang mudah. Sampai suatu saat Abu Bakar ash
Shidiq telah wafat misi tersebut masih berlanjut sampai masa khalifah Ustman
bin Affan, akan tetapi pada saat itu terjadi suatu perselisihan dari berbagai
darah terkait penyusunan Al-Qur’an.
Al-Qur’an
merupakan kitab suci bagi umat muslim, di Indonesia yang termasuk penduduk
muslim salah satu yang terbanyak masih membutuhkan mushaf yang juga tidak
sedikit. Sedangkan salah satunya ada mushaf Utsmani Indonesia, Dalam penulisan
Rasm Pada tahun 1960 telah terbit Departemen Agama penulisan al-Qur’an MASU
Indonesia. Dalam riwayat iamam rasm, mushaf al-Qur’an mayoritas telah di
riwayatkan oleh dua imam yaitu, Abu ‘Amr
ad-Dani dan Abu Daud Sulaiman. Namun Mazmur Sya’roni memaparkan bahwa MASU
tidak berpacu dengan kedua imam tersebut karena tidak adanya kesesuaian dalam
penulisan . Dengan demikian bisa dikatakan MASU Indonesia penulisannya tidak
berkiblat pada keduanya. Rasm terkesan menyesuaikan diri sesuai dengan situasi
dan kondisi yang telah terjadi dan bukan berpacu kepada kaidah imam yang masyur
akan tetapi ditegaskan sekali lagi al-Qur’an Standar Indonesia sistem
penulisannya telah mengacu pada ad-Dani dan juga adapula yang mengacu pada Abu
Daud Sulaiman.[4]
Dalam penulisan harakat juga di dalam MASU Indonesia juga dilakukan dengan
benar secara penempatannya dengan baik dan tepat disertakan sesuai dengan hukum
tajwid yang ada.
1.
Konsep Dasar Standarisasi
Konsumsi Mushaf.
Konsep-konsep
berikut diilhami oleh surah al-Wàqiʻah/ 56/77 “Innahù laqur’ànun karìm”. a.)
at-Takrìm, b.) at-Taíyìb, dan c.) al-Tahrìm.
a.
at-Takrìm.
Berdasarkan penelusuran penulis pemuliaan ada karena
obyek yang dimuliakan berasal dari yang dimuliakan, misalnya, surat dari Nabi
Sulaiman kepada Ratu Bilqis;39 ‘Arsy sebagai tempat yang mulia karena menjadi
singgasana Allah;40 Surga sebagai rizki yang mulia;41 Allah yang maha Kaya dan
maha Mulia;42 Maka al-Qur’an pun sebagai kalam yang mulia karena berasal dari
Allah yang maha Mulia.43 Kemulian ditandai dengan kepatuhan terhadap perintah
Allah (taqwa).44
b.
at-Taíyìb.
Konsep ini bisa dimaknai dengan menjadikan semua obyek
yang dimuliakan sebagai sesuatu yang baik, ditreatment secara baik, dalam
kondisi suci, dan tidak berdampak pada pengrusakan lingkungan. Untuk
rujukan dalil mengambil argument
yang telah ada di sub judul sebelumnya.
c.
al-Tahrìm.
Secara gamblang term ini
diartikan dengan pensucian. Ia lebih cenderung memberikan ruang yang sangat
teologis. Kesucian hanya bisa hadir bias orang-orang mengikuti
aturan-aturan agama ataupun sunnatullah. Maka dari itu mengapa pula semua
makhluq yang ada di alam ini mensucikan Allah yang mahasuci dengan cara mengikuti
sunnatullah konsep ini diambil untuk mengatakan bahwa mushaf
al-Qur’an harus disucikan oleh kaum Muslim dan semua yang percaya atas
sakralitas kitab suci dengan cara dibuat aturan yang bisa disepakati dan dijalankan. Sebagai
penguat atas pemaknaan ini disajikan beberapa contoh term haram yang
mengindikasikan pada pensucian. Beberapa obyek disifati dengan kata ëaràm, antara lain:
(1) bulan yang disucikan,45 (2) Masjid yang disucikan,46 (3) Tanah yang disucikan,47
dan (4) Baytullàh.48 Apa kesamaan dari semua kalimat tersebut adalah adanya
aturan yang jelas apabila orang ingin berada atau memasuki wilayah maupun waktu yang
menurut agama disucikan.
2.
Subyek
dan Obyek Standarisasi Konsumsi Mushaf
Sebelum
melangkah pada pembahasan aplikasi standar (pedoman), ada baiknya untuk melihat
terlebih dahulu pada siapa yang akan menjadi subyek yang mengatur dan obyek
melaksanakan. Untuk subyek, tentunya haruslah negara,
yang diwakili
oleh LPMA Kementeria Agama RI. Hanya saja, diperlukan aturan lain sehingga bisa memberikan
ruang yang cukup luas untuk law enforncement. Selama ini LPMA hanyalah lembaga
yang bisa menganjurkan dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi
semua stakeholder LPMA. Kerjasama dengan Kementerian Kehakiman, Kementrian
Perdagangan dan Industri, Badan Standarisasi Nasional, Badan Arsip
Nasional, dan Perpustakaan Nasional menjadi suatu yang tidak bisa dielakkan.
Pelaksanaan aturan ini
hanya bisa dikenakan pada obyek/tempat yang berada di ruang publik. Oleh
sebab itu, hanya toko buku, perpustakaan, museum, lembaga arsip, distibutor yang
bisa menjadi obyek dari standar ini. Sepertinya baru Museum yang siap apa bila
kaidah-kaidah/konsep dasar di atas akan dilaksanakan. Itupun, pada museum yang memiliki
dana berkecukupan untuk memelihara mushaf al- Qur’an dengan
prinsip-prinsip íaíyìb, takrìm, dan takrìm. Para pustakawan Muslim di
Indonesia pun telah berusaha membuat pedoman
klasifikasi bahan pustaka. Mereka mengadaptasi Klasifikasi Dewey, dan
menerapkannya pada kajian khusus Islam. Mushaf al-Qur’an masuk ke dalam klasifikasi 2x1 atau
297.1.49 Itupun baru pada klasifikasi belum pada bagaimana proses pelayanan peminjaman
mushaf al-Qur’an dilakukan? Apakah mushaf akan diperlakukan sama dengan
buku-buku pinjaman lainnya? Dalam satu artikelnya, Dallas menceritakan bahwa
pernah terjadi komplain pada Milner Library, Illinois
State University. Mahasiswa tersebut membuat keluhan karena perpustakaan Milner tidak menghormati
kepercayaan dirinya sebagai Muslim, dalam melakukan sirkulasi peminjaman mushaf
al-Qur’an. Dari kejadian ini akhirnya perpustakaan membuat kebijakan untuk tidak
meminjamkan hardkopi dari mushaf al-Qur’an. Para pengkaji
dan pembaca bisa mengakses mushaf al-Qur’an secara digital. Apabila terpaksa diperlukan hardkopi,
mushaf diberi label sebagai buku yang harus ditreatment secara khusus.50 Seperti itulah
kiranya aplikasi tersebut dilakukan, dimana lembaga pemberi layanan untuk
akses al-Qur’an, seperti perpustakaan, tetap mampu memahami kaidah takrim,
sekalipun terjadi di Amerika, yang sekular.
3.
Aplikasi Standarisasi.
At-Takrìm, lebih
cenderung diaplikasikan pada ruang, tempat bagaimana mushaf disajikan diruang
publik. Demi memastikan bahwa mushaf yang disajikan/display/disirkulasi
bisa diperlakukan dengan mulia. Tidak bisa tidak, harus ada tempat khusus untuk
menyajikan, mendisplay, dan mensirkulasi mushaf al- Qur’an. Beberapa toko
buku besar, sudah melakukan pembagian sektor display bagi mushaf al-Qur’an. Ia
biasanya ditempatkan pada kelompok buku-buku Agama Islam. Namun, kenyataannya lain
terjadi pada saat pameran buku Islam, contohnya Banyak sekali penyewa
booth pameran yang menumpuk mushaf di atas lantai pameran. Penulis
meyakini, apabila toko buku atau distributor buku menganggap bahwa mushaf
adalah komoditas yang berharga dipastikan akan diperlakukan secara berbeda,
contoh perlakuan untuk varian mushaf al-Qur’an yang harganya di atas 300 ribu
rupiah. Menjelaskan berharga tidak dengan nilai
nominal, memang menjadi
masalah. Hal itu, diperlukan keyakinan khusus atau ada aturan yang sangat
mengkat dari
negara untuk memperlakukan semua varian kitab suci dengan treatment kesuciannya. Tentunya,
inipun akan memberi dampak lain, dimana kost dari perlakuan itupun harus
dibayar. Pertanyaannya siapa yang membayar kost dari perlakuan khusus ini.
Seharusnya negara memberikan subsidi, seperti pengurangan pajak (ppn) bagi toko
buku yang telah memperlakukan kitab suci secara khusus. At-Taíyìb, kaidah ini
diaplikasikan pada proses perlakuan khususnya. Jika took buku, distributor,
perpustakaan atau museum telah memiliki ruang display khusus. Maka, apakah ruang atau
tempat tersebut bersih, suci dan tidak menyebabkan pada rusaknya mushaf dari
perubahan iklim? Sehingga akhirnya mushaf tersebut tidak layak untuk dikonsumsi atau
diakses oleh publik. At-Taërìm,
konsep dasar ini diaplikasikan pada proses akses kitab suci, mengambil, membawa,
menjual, mendistribusikan,
dan memamerkan. Rincian standar/pedomannya
akan melibatkan fatwa atau argument ahli fikih. Apakah akan memastikan bahwa mushaf
harus diperlakukan sebagai kitab suci yang terkait erat
dengan proses kesucian diri (hadaš) yang memegang dan menyentuhnya dari hulu ke hilir industry
penerbitan mushaf? Bila hal ini disepakati maka meniscayakan adanya orang yang khusus
untuk melayani, menyajikan mushaf dengan kriteria kesucian yang difatwakan.
Jika tidak atau minimalnya, fatwa hanya berlaku saat mushaf sudah ada diruang
privat (pengguna akhir )
C.
Pola hukum dan pendapat
ulama’ tentang rosm utsmani
Dalam
hal ini,Az-Zurqani sendiri mengemukakan bahwa dalam hal penerapan dan hal
penulisan mushaf Al-Quran ada tiga pendapat:
1.
menyatakan
bahwa mengikuti rasm ustmani merupakan sesuatu kewajiban.
2.
tulisan
Al-Qur’uan tidak harus mengikuti rasm utsmani karena menurut mereka ia hanyalah
ijtihad para sahabat,
3.
pendapat
yang lebih modera, penulisan Al-Qur’an memang tidak harus mengikuti rasm
utsmani, khususnya bagi orang awam, agar tulisan tersebut tidak membuat mereka
ragu. Namun di saat yang sama, tulisan dengan rasm utsmani ini harus tetap ada,
dijaga, dipelihara, dan dilestarikan (Abdulwaly,2019).[5]
D.
Kaidah-kaidah
Rosm utsmani
Kaidah
Rasm Utsmani yang digunakan pada kebanyakan Mushaf khusunya pada mushaf standar
Indonesia yaitu mengenai kaidah yang disusun atau dirancang oleh As-Suyuti yang
termaktub dalam kitabnya al-Itqan. Sebenarnya bukan
as-Suyuti saja yang menawarkan kaidah rasm, akan tetapi rumusan as-Suyuti cukup
populer dan paling diterima dikalangan pegiat Ulumul Quran. Rumusan as-Sutyuti
lebih eksis dan mampu bertahan hingga sekarang dibanding pendahulunya. [6] Para Ulama
meringkas kaidah-kaidah itu menjadi 6 istilah, yaitu:
1.
Al-Hadzf
(membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf).
2.
Jiyadah
(penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama` dan menambah alif
setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu).
3.
Al-hamzah,
salah satu kaidahnya berbunyi bahwa apabila hamzah berharakat sukun, di tulis
dengan huruf berharakat yang sebelumnya.
4.
Badal
(penggantian), seperti alif di tulis dengan wawu.
5.
Washal
dan Fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang di iringi kata ma
di tulis dengan di sambung.
6.
Kata
yang dapat dibaca dua bunyi. Penulis kata yang dapat dibaca dua bunyi
disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf `Utsmani, penulisan
kata semacam itu di tulis dengan menghilangkan alif, misalnya “maliki yaumiddin”
(Ayat di atas boleh di baca dengan menetapkan alif (yakni di baca dua
alif),boleh juga hanya
menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).
E.
Faedah
penulisan Alqur’an dengan rosm utsmani
Adapun
beberapa faedah dalam dalam penulisan Al-Qur;an sebagai rosm utsmani yaitu
sebagai berikut:
1.
Memilihara dan
melestarikan penulisan al-Qur’an sesuai dengan pola penulisan al-Qur’an pada awal penulisan dan
pembukuannya.
2.
Memberi kemungkinan pada
lafaz yang bentuknya sama
untuk dibaca dengan versi qira’at.
3.
Dapat menunjukan makna
atau maksut yang tersembunyi, dalam ayat-ayat tertentu yang penulisannya
menyalahi rasm imla’I, Dapat
menunjukan keaslian harakat (syakal) suatu lafaz.
4.
untuk menunjukkan bahasa
yabf fasih.
5. untuk menunjukkan makna yang berbeda-beda, penulisannya ditulis dengan qotho‟ (pisah) dan washol (sambung) pada sebagian kalimat.[7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Alqur’an
merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan
kepada umat,Alqur’an memilki tata cara
dalam membaca dan penulisan lafadz-lafadznya. Ilmu membaca Alqur’an dsebut juga
ilmu qira’at . menurut Az-Zarkasyi qira’at merupakan perbedaan lafadz lafadz
Alqur’an baik mencakup huruf hurufnya maupun cara pengucapan huruf.
Dalam hal ini,Az-Zurqani sendiri mengemukakan bahwa dalam
hal penerapan dan hal penulisan mushaf Al-Quran ada tiga pendapat:
1.
menyatakan
bahwa mengikuti rasm ustmani merupakan sesuatu kewajiban.
2.
tulisan
Al-Qur’uan tidak harus mengikuti rasm utsmani karena menurut mereka ia hanyalah
ijtihad para sahabat,
3.
pendapat
yang lebih modera, penulisan Al-Qur’an memang tidak harus mengikuti rasm
utsmani,
Adapun Kaidah Rasm Utsmani yang digunakan pada kebanyakan
Mushaf khusunya pada mushaf standar Indonesia yaitu mengenai kaidah yang
as-Suyuti cukup populer dan paling diterima dikalangan pegiat Ulumul Quran. Rumusan
as-Sutyuti lebih eksis dan mampu bertahan hingga sekarang dibanding
pendahulunya.Kaidah tersebut terbagi menjadi enam istilah, yaitu:
Para Ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi 6 istilah,
yaitu: 1) Al-Hadzf 2) Jiyadah (penambahan) 3) Al-hamzah 4) Badal (penggantian) 5)
Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan) 6) Kata yang dapat dibaca dua
bunyi.
Adapun beberapa
faedah dalam dalam penulisan Al-Qur;an sebagai rosm utsmani yaitu sebagai
berikut:
1.
Memilihara dan
melestarikan penulisan al-Qur’an sesuai dengan pola penulisan al-Qur’an pada
alaw penulisan dan pembukuannya.
2.
Memberi kemungkinan pada
lafaz yang sama untuk dibaca dengan versi qira’at.
3.
Dapat menunjukan makna
atau maksut yang tersembunyi, dalam ayat-ayat tertentu yang penulisannya
menyalahi rasm imla’I, Dapat
menunjukan keaslian harakat (syakal) suatu lafaz.
4.
untuk menunjukkan bahasa
yabf fasih seperti ha‟ ta‟nits
5.
untuk menunjukkan makna
yang berbeda-beda, ditulis dengan qotho‟ (pisah) dan washol (sambung) pada
sebagian kalimat
DAFTAR PUSTAKA
Al-A’zhamy. 2005. The History Of The Qur’anic Text From
Revelation To Compilation. Jakarta: Gema Insani Press.
Amal, Taufik Adnan. 2005. Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Amin,
Fathul. “KAIDAH RASM UTSMANI DALAM MUSHAF AL-QUR’AN INDONESIA
Fitra, Alid dan Listiana, Lia. “Peradaban Terbentuknya
Mushaf Al-Qur;an, dalam Journal Study Islam. Vol 08, Nomor
1, 2022, 58-69.
SEBAGAI SUMBER BELAJAR BACA TULIS AL-QUR’AN”, Vol
14, No1,2020, 66-68.
Sya‟roni, Mazmur. “Prinsip-prinsip
Penulisan dalam al-Qur‟an Standar Indonesia”, dalam Jurnal Lektur
Keagamaan, Vol. 5, No.1, 2007, 127-149, hlm. 129.
[1] Alid Fitra, Lia Listiana, “Journal Study islam, Peradaban Terbentuknya Mushaf Al-Qur;an”,
Vol.08, No 1(2022) 58-60.
[2] Al-A’zhamy.
The History Of The Qur’anic Text From Revelation To
Compilation. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005),hal
106.
[3] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2005), hal
[4]
Mazmur Sya’roni, “Prinsip-prinsip Penulisan dalam al-Qur’an Standar Indonesia”,
dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 5, 2007, hal.129
[5] Alid Fitra, Lia Listiana, “Journal Study islam, Peradaban Terbentuknya Mushaf Al-Qur;an”,
Vol 08, No 1(2022)hal 66.
[6] Fathul Amin, “KAIDAH RASM UTSMANI DALAM MUSHAF AL-QUR’AN INDONESIA
SEBAGAI SUMBER BELAJAR BACA TULIS AL-QUR’AN”, Vol 14, No1 (2020) hal 66.
[7] Alid Fitra, Lia Listiana, “Journal Study islam, Peradaban Terbentuknya Mushaf Al-Qur;an”,
Vol 08, No 1(2022)hal 69.
Komentar
Posting Komentar